Syarifah Nawawi (lahir di Bukittinggi, 1896 - meninggal di Jakarta, 17 April 1988 pada umur 91 tahun) adalah seorang tokoh pendidikan dan pejuang Indonesia. Syarifah adalah anak dari pasangan Nawawi Soetan Makmoer, seorang guru terkenal di Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi dengan seorang wanita yang bernama Chatimah. Syarifah adalah anak keempat dan putri ketiga dari 9 bersaudara.
Pendidikan
Bagi Nawawi pendidikan untuk anak sangatlah penting. Syarifah menempuh pendidikan di Europeesche Langere School (ELS), sekolah Belanda di Bukittinggi. Setelah tamat pada tahun 1907 ia melanjutkannya ke Kweekschool, tempat ayahnya mengajar. Pada tahun 1908 Syarifah adalah satu-satunya murid perempuan di antara 75 orang murid sekolah itu, dan ia adalah gadis Minang pertama yang mengalami pendidikan ala Eropa. Tamat dari Kweekschool, Syarifah dan saudaranya, Syamsiar, melanjutkan sekolah ke Salemba School di Batavia.
Rumah Tangga
Sewaktu berlibur ke Cianjur, oleh temannya, Syarifah diperkenalkan kepada seorang bangsawan Sunda, Wiranatakoesoema, yang dikemudian hari jadi suaminya. Mereka menikah pada bulan Mei 1916. Namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama, pada tanggal 17 April 1924, Wiranatakoesoema menceraikan Syarifah melalui telegram ketika Syarifah dan anak-anaknya sedang berlibur di Bukittinggi. Atas keputusan Wiranatakoesoema itu, iapun mendapat banyak kecaman di koran Belanda maupun koran pribumi, termasuk kecaman dari H. Agus Salim.
Dalam masa pernikahan yang pendek itu mereka dikaruniai 3 orang anak yaitu Am, Nelly dan Minarsih. Minarsih, anak bungsu Syarifah dikemudian hari dikenal sebagai Mien Soedarpo menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang pejuang kemerdekaan dan menjadi pengusaha besar setelah Indonesia merdeka. Soedarpo mendirikan perusahaan pelayaran yang kemudian hari menjadi besar dengan nama Samudera Lines. Sepanjang tahun 1924-1937 Syarifah dan anak-anaknya tinggal di Bukittinggi. Ia memimpin sekolah De Meisjes Vervolg School (Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan) sebagai kepala sekolah di kota itu.
Pengabdian
Setelah kedua orangtuanya meninggal, pada tahun 1937 Syarifah kembali ke Batavia. Ia menyekolahkan anak-anaknya di Koning Willem III School Batavia. Aktivitasnyapun berlanjut dengan memimpin Sekolah Kemajuan Istri di Meester Cornelis.
Ia mengundurkan diri dari sekolah tersebut sewaktu Jepang masuk dan menguasai Indonesia. Namun ia tetap berjuang memajukan pendidikan wanita dan anak-anak dan masuk ke Fujinkai, suatu organisasi wanita binaan Jepang.
Pada tanggal 11 Juli 1955 ia bersama teman-temannya mendirikan Yayasan Panti Wanita Trisula PERWARI. PERWARI adalah sebuah organisasi wanita pejuang Indonesia yang didirikan pada tahun 1945. Syarifah tak pernah berhenti mengabdi pada masyarakat melalui pendidikan dan memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mampu, bahkan ia merelakan rumahnya dijadikan tempat sekolah.
Pengabdian Syarifah Nawawi untuk pendidikan dan pencerdasan wanita di Indonesia tentu akan selalu dikenang oleh bangsanya. Ia menerima piagam penghargaan atas sumbangsihnya yang tulus dan tak kenal lelah demi terangkatnya anak-anak perempuan miskin ke derajat yang lebih tinggi. Sampai sekarang potret wajahnya masih tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas pengabdian dan sumbangsihnya yang tulus itu.
Syarifah Nawawi, pejuang pendidikan itu telah meninggal di Jakarta pada tanggal 17 April 1988 dalam usia 91 tahun.( id.wikipedia )
Pendidikan
Bagi Nawawi pendidikan untuk anak sangatlah penting. Syarifah menempuh pendidikan di Europeesche Langere School (ELS), sekolah Belanda di Bukittinggi. Setelah tamat pada tahun 1907 ia melanjutkannya ke Kweekschool, tempat ayahnya mengajar. Pada tahun 1908 Syarifah adalah satu-satunya murid perempuan di antara 75 orang murid sekolah itu, dan ia adalah gadis Minang pertama yang mengalami pendidikan ala Eropa. Tamat dari Kweekschool, Syarifah dan saudaranya, Syamsiar, melanjutkan sekolah ke Salemba School di Batavia.
Rumah Tangga
Sewaktu berlibur ke Cianjur, oleh temannya, Syarifah diperkenalkan kepada seorang bangsawan Sunda, Wiranatakoesoema, yang dikemudian hari jadi suaminya. Mereka menikah pada bulan Mei 1916. Namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama, pada tanggal 17 April 1924, Wiranatakoesoema menceraikan Syarifah melalui telegram ketika Syarifah dan anak-anaknya sedang berlibur di Bukittinggi. Atas keputusan Wiranatakoesoema itu, iapun mendapat banyak kecaman di koran Belanda maupun koran pribumi, termasuk kecaman dari H. Agus Salim.
Dalam masa pernikahan yang pendek itu mereka dikaruniai 3 orang anak yaitu Am, Nelly dan Minarsih. Minarsih, anak bungsu Syarifah dikemudian hari dikenal sebagai Mien Soedarpo menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang pejuang kemerdekaan dan menjadi pengusaha besar setelah Indonesia merdeka. Soedarpo mendirikan perusahaan pelayaran yang kemudian hari menjadi besar dengan nama Samudera Lines. Sepanjang tahun 1924-1937 Syarifah dan anak-anaknya tinggal di Bukittinggi. Ia memimpin sekolah De Meisjes Vervolg School (Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan) sebagai kepala sekolah di kota itu.
Pengabdian
Setelah kedua orangtuanya meninggal, pada tahun 1937 Syarifah kembali ke Batavia. Ia menyekolahkan anak-anaknya di Koning Willem III School Batavia. Aktivitasnyapun berlanjut dengan memimpin Sekolah Kemajuan Istri di Meester Cornelis.
Ia mengundurkan diri dari sekolah tersebut sewaktu Jepang masuk dan menguasai Indonesia. Namun ia tetap berjuang memajukan pendidikan wanita dan anak-anak dan masuk ke Fujinkai, suatu organisasi wanita binaan Jepang.
Pada tanggal 11 Juli 1955 ia bersama teman-temannya mendirikan Yayasan Panti Wanita Trisula PERWARI. PERWARI adalah sebuah organisasi wanita pejuang Indonesia yang didirikan pada tahun 1945. Syarifah tak pernah berhenti mengabdi pada masyarakat melalui pendidikan dan memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mampu, bahkan ia merelakan rumahnya dijadikan tempat sekolah.
Pengabdian Syarifah Nawawi untuk pendidikan dan pencerdasan wanita di Indonesia tentu akan selalu dikenang oleh bangsanya. Ia menerima piagam penghargaan atas sumbangsihnya yang tulus dan tak kenal lelah demi terangkatnya anak-anak perempuan miskin ke derajat yang lebih tinggi. Sampai sekarang potret wajahnya masih tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas pengabdian dan sumbangsihnya yang tulus itu.
Syarifah Nawawi, pejuang pendidikan itu telah meninggal di Jakarta pada tanggal 17 April 1988 dalam usia 91 tahun.( id.wikipedia )