Pangdam
ke-9 Kodam VI Siliwangi 1966-1969
Hartono Rekso Dharsono yang lebih
dikenal dengan sapaan Pak Ton (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 10 Juni 1925 –
meninggal di Bandung, Jawa Barat, 5 Juni 1996 pada umur 70 tahun) adalah
seorang tokoh militer dan politik Indonesia.
Latar belakang dan pengabdian
Pak Ton dilahirkan sebagai anak kesembilan
dari 12 bersaudara. Pak Ton yang pernah memperoleh pendidikan militer di
Belanda ini, memulai kariernya di dunia militer di Divisi Siliwangi sebagai
seorang komandan regu, pleton dan kemudian komandan batalyon pada masa perang
kemerdekaan (1946-1949). Ia juga pernah menjabat sebagai kepala staf brigade di
Siliwangi, dan kemudian bertugas di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) (1954-1956)
dan sebagai Wakil Gubernur Akademi Militer Nasional (1956-1959). Ia juga mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Staf Kodam Siliwangi hingga dua kali, yaitu pada 1960 dan 1964-1965.
dan sebagai Wakil Gubernur Akademi Militer Nasional (1956-1959). Ia juga mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Staf Kodam Siliwangi hingga dua kali, yaitu pada 1960 dan 1964-1965.
Pada 1962-1964 ia mendapat tugas sebagai
atase militer di London, Inggris. Selesai dengan tugasnya di London, H.R.
Dharsono diangkat menjadi Asisten III Panglima Angkatan Darat (1965-1966) dan
kemudian sebagai Pangdam ke-9 Kodam VI Siliwangi (kini Kodam III) (1966-1969). Pada
1969, Pak Ton diangkat menjadi Duta Besar di Thailand. Tugas ini dijalaninya
hingga 1972. Ia kemudian diangkat menjadi Duta Besar di Kamboja (1972-1975). Ia
kemudian menjadi Ketua Delegasi RI pada International Commission for Control
and Supervision (ICCS) dalam upaya mengakhiri Perang Vietnam (1973-1975). Pada
1976, ia diangkat menjadi Sekretaris Jenderal ASEAN, namun jabatan ini tidak
sempat dijalaninya hingga selesai. Pada 1978 ia dicopot dari jabatannya itu
karena terlibat dalam kelompok Petisi 50, yaitu sekelompok tokoh politik,
militer dan masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan Presiden
Soeharto saat itu. Setelah itu ia beralih ke swasta menjadi direktur utama PT.
Propelat Bandung (1978-1980). Ia juga pernah menjadi Sekjen pada Forum Studi
dan Komunikasi (Fosko) TNI Angkatan Darat.
Ditahan dan dipenjarakan
Pada 1984 terjadi pengeboman atas
beberapa kantor Bank Central Asia di Jakarta, yaitu BCA di Jl. Pecenongan, di
kompleks pertokoan Glodok, dan di Jl. Gajah Mada. Lima orang ditangkap dan
dipenjarakan sehubungan dengan peristiwa ini. Namun kemudian beberapa tokoh
Petisi 50 pun ikut ditangkap, yaitu H.M. Sanusi dan A.M. Fatwa serta H.R. Dharsono.
Pada 8 November 1984 ia ditahan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di LP
Salemba. Ia diajukan ke pengadilan pada 19 Agustus 1985 dan dinyatakan bersalah
melakukan delik politik dan tindak subversif, menghadiri rapat-rapat yang
berkaitan dengan pengeboman tersebut. Pada 8 Januari 1986 pengadilan
menjatuhkan hukuman tahanan selama 10 tahun kepadanya. Tuntutan ini lima tahun
lebih ringat daripada tuntutan jaksa. Pak Ton menyatakan naik banding atas
hukuman 10 tahun yang dijatuhkan itu. Pengadilan Tinggi kemudian mengurangi
masa hukumannya menjadi tujuh tahun. Masa hukuman ini dikukuhkan oleh Mahkamah
Agung pada tingkat kasasi. Dharsono dibebaskan setelah 5 tahun mendekam di
penjara. Ia keluar dari LP Cipinang pada 16 September 1990 karena remisi yang
diterimanya setiap tanggal 17 Agustus.
Menurut keluarganya, selepas dari
tahanan, Pak Ton tidak mendendam kepada siapapun dan tidak pernah mengeluh
tentang apa yang telah dialaminya. Itu semua dianggapnya sebagai risiko dari
perjuangan yang telah diperhitungkannya.
Sakit dan akhir hayat
Sejak keluar dari LP Cipinang, Pak Ton
menginap penyakit bronkitis. Ia kemudian menderita kanker. Setelah dua minggu
dirawat di Rumah Sakit Advent Bandung, ia menghembuskan napasnya yang terakhir
pada pagi hari, 5 Juni 1996. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum
Sirna Raga, Bandung, dengan upacara kemiliteran. H.R. Dharsono kehilangan
haknya untuk dikebumikan di Taman Makam Pahlawan karena ia pernah dipenjarakan
selama lebih dari satu tahun. Pemakamannya di tempat pemakaman umum ini sempat
menimbulkan kekecewaan di kalangan teman-teman dekat Pak Ton. Ali Sadikin,
misalnya, menyatakan bahwa status Pak Ton tidak jelas. Memang ia pernah
dipenjarakan, namun tanda-tanda kehormatan dan pensiunnya tidak pernah dicabut.
Meskipun demikian, keluarga Pak Ton tidak pernah mengeluh dan menyatakan telah
siap menerima kenyataan ini.
Keluarga
H.R. Dharsono meninggalkan seorang
istri, Andrijana, enam orang anak dan 14 orang cucu.
Aneka rupa
Ketika menjabat sebagai Pangdam
Siliwangi, H.R. Dharsono sangat dekat dengan mahasiswa dan sering ikut siaran
malam hari di radio mahasiswa Bandung, Radio Mara. Ia menyamar dengan sebutan
Bang Kalong, karena datangnya selalu di malam hari. Dalam siarannya ini, Bang
Kalong berbicara tentang masalah sosial dan menerima keluhan-keluhan masyarakat
dari masyarakat tentang apa saja. Penyanyi kesayangan Pak Ton adalah Andy
Williams dengan lagunya "The Impossible Dream". Pada hari ia
dimakamkan, Radio Mara memutar lagu ini berulang-ulang. Pak Ton semasa menjadi
Pangdam Siliwangi pernah mengeluarkan Surat Perintah agar masyarakat Jawa Barat
tidak dikunjungi atau mengunjungi Mantan Presiden Indonesia, Soekarno pada
antara tahun 1968 - 1969 (Kemungkinan Diperintah oleh Soeharto)
(
id.wikipedia )