Amir Syamsuddin (lahir di Makasar, 27 Mei 1946; umur 69 tahun) yang dilahirkan dengan nama Freddy Tan Toan Sin[1] adalah Menteri Hukum dan HAM Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II menggantikan Patrialis Akbar[2]. Ia mengawali karier kepangacaraannya dengan menjadi staf magang di Kantor Pengacara O.C. Kaligis pada 1979. Pada 1983 ia mendirikan Amir Syamsuddin Law Offices and Partners sekaligus pendiri firma "Acemark" yang khusus menangani hak kekayaan intelektual. [3]
Syamsuddin menghabiskan masa kecilnya sampai SMP di Makasar,
lalu merantau ke Surabaya untuk melanjutkan sekolahnya. Sejak kelas satu SMA di Surabaya, dia telah bekerja. Ia kerap berganti pekerjaan. Dia pernah menjadi juru cetak foto dalam kamar gelap, lalu bekerja di pabrik roti. Semua itu dilakukan dengan tujuan menata jalan mendapatkan sesuatu yang lebih baik.[butuh rujukan]
Tahun 1965 Amir Syamsuddin pindah ke Jakarta. Karena ketertarikannya pada mesin ia bekerja di satu bengkel, lalu membuka bengkel sendiri. Sambil bekerja ia lalu mendaftarkan diri di Fakultas Hukum UI pada 1978. Ia lalu melanjutkan pendidikan S2 Hukum Universitas Indonesia.[butuh rujukan]
Sebagai pengacara ia telah banyak menyelesaikan kasus-kasus besar yang melibatkan media seperti kasus Tempo (1986), Bapindo (1993), Suara Pembaruan (1999), Zarima, Akbar Tanjung (2003), Harnoko Dewantoro, Beddu Amang, KPKPN (2003), VLCC dengan Pertamina dan KPP, dan perselisihan Texmaco dan Kompas (2003) dan William Nessen (2003)
( id.wikipedia.org )
Syamsuddin menghabiskan masa kecilnya sampai SMP di Makasar,
lalu merantau ke Surabaya untuk melanjutkan sekolahnya. Sejak kelas satu SMA di Surabaya, dia telah bekerja. Ia kerap berganti pekerjaan. Dia pernah menjadi juru cetak foto dalam kamar gelap, lalu bekerja di pabrik roti. Semua itu dilakukan dengan tujuan menata jalan mendapatkan sesuatu yang lebih baik.[butuh rujukan]
Tahun 1965 Amir Syamsuddin pindah ke Jakarta. Karena ketertarikannya pada mesin ia bekerja di satu bengkel, lalu membuka bengkel sendiri. Sambil bekerja ia lalu mendaftarkan diri di Fakultas Hukum UI pada 1978. Ia lalu melanjutkan pendidikan S2 Hukum Universitas Indonesia.[butuh rujukan]
Sebagai pengacara ia telah banyak menyelesaikan kasus-kasus besar yang melibatkan media seperti kasus Tempo (1986), Bapindo (1993), Suara Pembaruan (1999), Zarima, Akbar Tanjung (2003), Harnoko Dewantoro, Beddu Amang, KPKPN (2003), VLCC dengan Pertamina dan KPP, dan perselisihan Texmaco dan Kompas (2003) dan William Nessen (2003)
( id.wikipedia.org )