Haji
Abdul Malik Karim Amrullah, Ulama besar
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya,
(lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17
Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah
sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.
Hamka lahir pada 17 Februari 1908
[Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1362] di Minangkabau, Sumatera. Ia lahir
sebagai anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga
yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Ayahnya bernama Abdul Karim
Amrullah, ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan
sebutan Haji Rasul, sementara ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan
seniman di Minangkabau.
Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni
Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah. Sebelum
mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah rumah
di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya
ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau,
sewaktu kecil ia belajar mengaji dan tidur di surau yang berada di sekitar
tempat ia tinggal, sebab anak laki-laki Minang memang tak punya tempat di rumah.
Di surau, ia belajar mengaji dan silek, sementara di luar itu, ia suka
mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik
tradisional Minangkabau. Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya
pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Kelak melalui
novel-novelnya, Hamka sering mencomot kosakata dan istilah-istilah Minangkabau.
Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun dan petatah-petitih
menjadi bumbu dalam karya-karyanya.
Mengenyam pendidikan
Pada tahun 1915, setelah usianya genap
tujuh tahun, ia dimasukkan ke sebuah Sekolah Desa dan belajar ilmu pengetahuan
umum seperti berhitung dan membaca di sekolah tersebut. Pada masa-masa itu,
sebagaimana diakui oleh Hamka, merupakan zaman yang seindah-indahnya pada
dirinya. Pagi ia bergegas pergi ke sekolah supaya dapat bermain sebelum
pelajaran dimulai, kemudian sepulang sekolah bermain-main lagi, bercari-carian,
bermain galah, bergelut, dan berkejar-kejaran, seperti anak-anak lainnya
bermain. Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa,
ia juga belajar di Diniyah School setiap sore. Namun sejak dimasukkan ke
Thawalib oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran
di Sekolah Desa. Ia berhenti setelah tamat kelas dua.[8] Setelah itu, ia
belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib
dan malamnya kembali ke surau. Demikian kegiatan Hamka kecil setiap hari,
sesuatu yang—sebagaimana diakuinya—tidak menyenangkan dan mengekang kebebasan
masa kanak-kanaknya. Selama belajar di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang
pandai, bahkan ia sering tidak hadir beberapa hari karena merasa jenuh dan
memilih mencari ilmu dengan jalannya sendiri. Ia lebih senang berada di sebuah
perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy daripada dipusingkan
dengan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalnya di kelas. Dari perpustakaan
tersebut, ia leluasa membaca bermacam-macam buku, bahkan beberapa ia pinjam
untuk dibawanya pulang. Namun, karena buku yang dipinjamnya itu tidak ada
hubungannya dengan pelajaran, ia sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan
tengah asyik membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata, "Apakah engkau
akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?". Sebagai
usaha untuk menunjukkan diri kepada ayahnya dan sebagai akibat dari
persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya tarik Jawa Tengah,
menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke Tanah Jawa. Pada saat yang
sama, ia tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan pendidikan di Thawalib.
Setelah belajar selama empat tahun, ia memutuskan untuk keluar dari Thawalib,
sementara program pendidikan di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun.
Ia keluar tanpa memperoleh ijazah. Pada masa-masa setelah itu, Hamka sempat
dibawa ke Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi pada tahun 1922 untuk belajar
kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi tidak berlangsung lama. Ia lebih memilih
mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan pengalaman menurut caranya
sendiri. Ia memutuskan untuk bertolak ke pulau Jawa. Namun, usaha yang pertama
sempat terjegal oleh ayahnya.
Merantau ke Jawa
Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat
di Minangkabau sejak berusia remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan
sebutan "Si Bujang Jauh".Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami
suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya,
Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa
lebih maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi.
Namun setiba di Bengkulu, Hamka terkena wabah penyakit cacar, sehingga setelah
sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan kembali ke Padang
Panjang. Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak terbendung. Pada
tahun 1924, setahun setelah sembuh dari penyakit cacar, ia kembali berangkat ke
pulau Jawa. Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke Yogyakarta dan menetap di
rumah adik kandung ayahnya, Ja'far Amrullah. Melalui pamannya itu, ia mendapat
kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam yang
diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Selain mempelajari
pergerakan Islam, ia juga meluaskan pandangannya dalam persoalan gangguan
terhadap kemajuan Islam seperti kristenisasi dan komunisme. Selama di Jawa, ia
aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan agama. Dalam berbagai kesempatan, ia
berguru kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin,
dan Suryopranoto. Sebelum kembali ke Minangkabau, ia sempat mengembara ke
Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Ahmad Hassan dan
Mohammad Natsir, yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam Majalah
Pembela Islam. Selanjutnya pada tahun 1925, ia pergi ke Pekalongan, Jawa Timur
untuk menemui Ahmad Rasyid Sutan Mansur—yang waktu itu menjabat sebagai Ketua
Muhammadiyah cabang Pekalongan—sekaligus belajar kepadanya. Selama di
Pekalongan, ia menetap di rumah kakak iparnya itu dan mulai tampil berpidato di
beberapa tempat. Dalam perantauan pertamanya ke pulau Jawa, ia mengaku memiliki
semangat baru dalam mempelajari Islam. Ia juga melihat ada perbedaan antara
misi pembaruan Islam di Minangkabau dan Jawa; jika di Minangkabau ditujukan
pada pemurnian ajaran Islam dari praktik yang dianggap salah, seperti tarekat,
taklid, dan khirafat, maka di Jawa lebih berorientasi kepada usaha untuk
memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
Menunaikan ibadah haji
Setelah setahun lamanya berada di Jawa,
pada bulan Juli 1925 Hamka kembali ke Padang Panjang. Di Padang Panjang, ia
menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah, yang berisikan kumpulan
pidato yang didengarkannya di Surau Jembatan Besi, dan Majalah Tabligh
Muhammadiyah.[24] Di sela-sela aktivitasnya dalam bidang dakwah melalui
tulisan, ia menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun
pada saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato
saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan
manfaatnya pidato-pidatomu itu." Di sisi lain, ia tidak mendapatkan
penerimaan baik dari masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai "tukang
pidato yang tidak berijazah", bahkan ia sempat mendapat kritikan dari
sebagian ulama karena ketika itu ia belum menguasai bahasa Arab dengan baik.
Berbagai kritikan yang ia terima di tanah kelahirannya, ia jadikan cambuk untuk
membekali diri lebih matang.
Pada bulan Februari 1927, ia mengambil
keputusan pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya,
termasuk untuk mempelajari bahasa Arab dan menunaikan ibadah hajinya yang
pertama. Ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya
sendiri. Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden Harian Pelita Andalas
sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid
Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.[29][30] Di
tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan
buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. Menjelang
pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah haji
lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia-Timur, sebuah organisasi yang
memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia.
Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa
dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah,
tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang. "Banyak
pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan
yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di
tanah airmu sendiri", ujar Agus Salim. Ia pun segera kembali ke tanah air
setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang
Panjang, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang
membawanya pulang.
Karier di Medan
Selama di Medan, ia banyak menulis
artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan
di Tebing Tinggi.Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela
Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di
Yogyakarta. Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita
Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke
Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis romannya yang pertama dalam
bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Pada tahun yang sama, ia diangkat
sebagai redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah
di Padang Panjang. Setahun berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain:
Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan
Tabligh, dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut disita
karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang sedang berkuasa ketika
itu. Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim
surat memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh Hamka. Oleh sebab itu,
ayahnya meminta Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput dan membujuk Hamka
pulang. Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka luluh, dan kemudian ia
pulang ke kampung halamannya di Maninjau, sementara rumah ayahnya di Padang
Panjang luluh lantah akibat gempa bumi pada tahun 1926. Setiba di kampung
halamannya, ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan air mata.
Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos
sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa
begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan
miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal
diasah." Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah.
Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang, ia kembali
meninggalkan kampung halamannya. Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936. Di
Medan, ia bekerja sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah
majalah pengetahuan Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu
Majalah Pedoman Masyarakat. Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama
kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka". Selama di Medan, ia menulis
Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada
tahun 1927. Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan pada tahun 1938, ia
menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada awalnya ditulis sebagai
cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat. Selain itu, ia juga menerbitkan
beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi,
Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku,
Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup. Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman
Masyarakat yang dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di
Indonesia.
Karier dan kehidupan selanjutnya
Muhammadiyah
Setelah perkawinannya dengan Sitti
Raham, Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang
cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya
pada tahun 1925 di Sungai Batang. Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan
Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari
1930. Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka
tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya.
Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia
diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar
Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres
berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang
Muhammadiyah di Bengkalis. Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh
Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat
rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar. Selama di
Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit
sekali sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres
Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul
Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah. Kariernya di Muhammadiyah kian
menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya
Hindia-Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih
menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H.
Mohammad Said.[52] Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke
Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih
menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y.
Sutan Mangkuto.[53] Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949. Pada tahun 1953,
ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah
ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar
Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih
kembali karena merasa uzur.[55] Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai
penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.(id.wikipedia )