Nurtanio
Pringgoadisuryo, perintis industri penerbangan Indonesia
Nurtanio Pringgoadisuryo (dikenal juga
dengan nama L.M.U Nurtanio, LMU Nurtanio, Laksamana Muda Udara Nurtanio,
Laksamana Muda Udara Anumerta Nurtanio) (lahir di Kandangan, Kalimantan
Selatan, 3 Desember 1923 – meninggal 21 Maret 1966 pada umur 42 tahun adalah
sebagai perintis industri penerbangan Indonesia. Bersama Wiweko Soepono,
Nurtanio membuat pesawat layang Zogling NWG (Nurtanio-Wiweko-Glider) pada tahun
1947. Ia membuat pesawat pertama all metal dan fighter Indonesia yang dinamai
Sikumbang, disusul dengan Kunang-kunang (mesin VW) dan Belalang, dan Gelatik
(aslinya Wilga) serta mempersiapkan produksi F-27. Cita-citanya besar, keliling
dunia dengan pesawat terbang buatan bangsanya. Untuk itu, disiapkanya pesawat
Arev (Api
Revolusi), dari bekas rongsokan Super Aero buatan Cekoslowakia yang
tergeletak di Kemayoran. Karena dedikasinya yang tinggi, setelah Nurtanio gugur
dalam penerbangan uji coba Arev, namanya diabadikan menjadi Industri Pesawat
Terbang Nurtanio (sekarang IPT-Nusantara/IPTN/PT Dirgantara Indonesia).
Cita-cita dan keinginan serta
kecintaannnya akan dunia kedirgantaraan sudah dia awali sejak masa Hindia
Belanda. Nurtanio pada saat itu berlangganan majalah kedirgintaraan
Vliegwereld, dan menekuni masalah aerodinamika dan aeromodelling. Pada masa
itu, Nurtanio sering mengadakan surat menyurat dan korespondensi dengan sesama
pencinta Aeromodelling pada zaman Hindia Belanda. Diantaranya adalah Wiweko
Soepono yang saat itu sudah mendirikan perkumpulan pencinta Aeromodelling serta
berlangganan majalah Vliegwereld.
Junior Aero Club
Pada masa pendudukan Jepang, di sekolah
menengah tinggi teknik atau Kogyo Senmon Gakko, Nurtanio mendirikan perkumpulan
Junior Aero Club yang isinya tentang bagaimana teknik pembuatan pesawat model
yang merupakan dasar-dasar Aerodinamika. Karena pada masa pendudukan Jepang
penggunaan bahasa Inggris dilarang, maka untuk menghidari kecurigaan
ditempaknya dua orang pengawas berkebangsaan Jepang di antaranya adalah Tuan
Imazawa. Disinilah Nurtanio berkenalan dan bertemu dengan R.J Salatun, yang
juga berminat dalam masalah penerbangan dan kebetulan berlangganan majalah
kedirgantaraan yang sama yakni Vliegwereld. Pada saat itu peserta dibatasi
karena para pesertanya yang sebelumnya membludak, jadi hanya tinggal sedikit.
Di JAC, Nurtanio dan sahabatnya, R.J
Salatun, juga bertemu dengan guru olahraga yang bernama Iswahyudi yang juga
memiliki pengetahuan dalam masalah penerbangan, yang ketika perang dunia II
pecah, sedang mengikuti pendidikan penerbang militer Belanda yang kemudian
diungsikan ke Australia. Perhatian Nurtanio pada masa itu tidak hanya dalam
masalah pesawat model tetapi bahkan menekuni buku-buku teknik penerbangan yang
saat itu banyak berbahasa Jerman serta sudah menekuni dan menggambar rancangan
glider atau pesawat layang type Zogling yang merupakan obsesinya.
Masa kemerdekaan Republik Indonesia
Pda awal kemerdekaan Indonesia, Nurtanio
bergabung dengan Angkatan Udara di Yogyakarta yang dipimpin oleh Suryadi
Suryadarma yang pada masa itu disebut dengan TKR Jawatan Penerbangan. Nurtanio
mencari R.J Salatun untuk bergabung juga dengan TKR Jawatan Penerbangan.
Disana, juga bergabung Prof. Ir. Rooseno dan Wiweko Soepono. Nurtanio kemudian
diberi jabatan Sub Bagian Rencana di bagian Kepala Bagian Rencana dan
Penerangan (semula dinamakan Propaganda namun diganti karena berkesan seperti
Bagian Propaganda Nazi yang dijabat oleh sahabat Adolf Hitler, Joseph Gobbels)
yang dijabat oleh Wiweko Soepono sedangkan R.J Salatun mendapat jabatan bagian
penerangan. Ketiga orang ini yang kemudian disebut sebut sebagai tiga serangkai
perintis kedirgantaraan Indonesia tersebut kemudian melaksanakan tugasnya
antara lain mendesain tata kepangkatan Angkatan Udara yang dibantu oleh Halim
Perdanakusuma yang pernah berdinas di Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal
Air Force/RAF) dan persiapan-persiapan lainnya. Sedangkan Nurtanio langsung
mendesain glidernya. Kemudian Suryadarma memindahkan koleksi buku-buku militer
dan penerbangannya ke kantor yang menjadikannya sebagai perpustakaan Angkatan
Udara yang pertama, yang sering hadir di perpustakaan itu adalah Adisutjipto
dan Abdulrachman Saleh.
Nurtanio akhirnya berhasil menyelesaikan
rancangan glidernya, ia kemudian bersama Wiweko Soepono pindah ke Maospati
karena lebih lengkap fasilitasnya dibandingkan di Maguwo, Yogyakarta.
Pesawat Glider NWG-1
Setelah pindah ke Maospati, Nurtanio
berhasil membuat beberapa glider yang dinamakan NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider).
Pesawat ini adalah pesawat satu-satunya buatan Indonesia dengan kandungan lokal
hingga 100 persen hingga hari ini. Dibuat dari kayu jamuju yang dicari di
daerah Tretes untuk mengganti kayu spruce, sayap dibalut dengan kain blaco
pengganti kain linen dan kemudian diolesi bubur cingur pengganti thinner.
Pesawat Glider ini kemudian digunakan untuk melatih kadet-kadet penerbang yang
akan dikirim ke India guna pendidikan penerbang lebih lanjut. Sekitar tahun
1948, Nurtanio kemudian ditugaskan ke Manila, Filipina untuk melanjutkan studi
kedirgantaraannya di FEATI (Far Eatern Aero Technical Insitute). Sebagai bekal
hidup, Nurtanio membawa kerajinan perak Yogyakarta yang ternyata susah untuk
dijual. kemudian setelah selesaidi tugaskan ke manila,dia kembali ke indonesia.
Sikumbang
Pada masa selesainya perang kemerdekaan
(sekitar tahun 1950), Nurtanio berhasil merancang dan membuat pesawat Sikumbang
yang merupakan pesawat all metal pertama Indonesia itu. Nurtanio kemudian
berencana menerbangkan ke daerah Sekaten, Yogyakarta dari Bandung. Sahabatnya
R.J Salatun mempunyai firasat buruk tentang penerbangan itu dan berniat
membatalkannya. Karena dia punya akses langsung kepada Kepala Staf Angkatan
Udara Suryadarma, Salatun memberikan argumen kepada Suryadarma agar membatalkan
rencana penerbangan Nurtanio ke Yogyakarta dengan alasan Nurtanio adalah
satu-satunya kostruktur penerbangan yang dimiliki Angkatan Udara. Suryadarma
setuju dengan alasan Salatun dan memerintahkan stafnya untuk memberikan
radiogram pembatalan rencana penerbangan ke Yogyakarta. Untuk mengobati rasa
kesalnya, Nurtanio menerbangkan pesawat Sikumbang itu keliling udara Bandung di
sekitar Lanud Husein Sastranegara. Tidak lama kemudian pesawat itu didaratkan
di Lanud Husein karena mengalami gangguan berupa mesinnya mati. Nurtanio
mengambil kesimpulan seandainya dia melakukan penerbangan ke Yogyakarta, maka
dia harus mendarat darurat di daerah rawan yang masih dikuasai DI/ TII karena
mengalami mesin mati. Pada saat itu, Indonesia menerima berbagai macam pesawat
dan peralatan perang dari Belanda sebagai pelaksanaan pengakuan kedaulatan yang
merupakan buah dari Konfrensi Meja Bundar. Untuk Angkatan Udara, Indonesia
menerima berbagai pesawat di antaranya P-51 Mustang, Pembom sedang/ringan B-25
Mitchell dan pesawat angkut DC-3 Dakota. Pesawat-pesawat itu masih berwarna
metal aluminium karena tidak diberi cat kamuflase. Alasan Nurtanio adalah
pesawat itu permukaannya menjadi lebih licin sehingga mengurangi hambatan
(drag). Namun kemudian muncullah gejala politik kurang baik yang diwarnai
pembentukan dewan-dewan daerah oleh pimpinan wilayah politik dan pimpinan
wilayah angkatan perang (yang dijuluki warlord) sebagai protes akibat kebijakan
pemerintah pusat yang secara ekstrem dapat menjurus kearah disintegrasi. Bila
kemungkinan itu terjadi, maka Angkatan Perang Indonesia khususnya Angkatan
Udara Republik Indonesia akan dibuat repot. Untuk mempersiapkan diri terhadap
kemungkinan terburuk, R.J Salatun yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan
Penerbangan merangkap Sekretaris Gabungan Kepala-Kepala Staf memberi masukan
kepada KSAU Suryadarma untuk mulai memberi kamuflase kepada pesawat-pesawat
AURI selagi PO (periodiek overhaul). Dengan demikian jika terjadi konflik, AURI
tidak akan kerepotan. Nurtanio kecewa dan bertanya hal itu untuk apa. Tidak
lama kemudian ketika AURI jadi ujungtombak penumpasan PRRI/Permesta, seluruh
armada udaranya sudah diberi kamuflase.
Pesawat Gelatik dan merintis
Aeroindustri
Pada masa Menteri Keamanan Nasional
dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution dan deputinya Jendral Hidajat Martaatmadja,
Nurtanio memperoleh kredit dari Polandia sebesar (atau sekecil) 1,5 juta dollar
Amerika Serikat untuk Depot Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan AURI menjadi
LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan yang merupakan cikal bakal IPTN
nantinya). Caranya, dengan alih teknologi produksi melalui perakitan pesawat
pertanian PZL-104 Wilga yang dinamai Gelatik oleh Presiden Soekarno. Dalam
mengajukan proposalnya, Jenderal Nasution maupun Jenderal Hidayat sangat
terkesan oleh sifat Nurtanio yang begitu realistis dan tidak muluk-muluk. Menurut
Ir. Hoo Kian Lam (pemilik pesawat terbang Walraven W-2 PK-KKH dan pernah
berusaha mendirikan industri penerbangan pada masa Hindia-Belanda), yang ikut
serta dalam kunjungan ke pabrik PZL di Warsawa, Nurtanio yang memimpin delegasi
menerbangkan sendiri pesawat Wilga hingga sangat mengesankan bagi
pejabat-pejabat Polandia. Namun ketika usulan R.J Salatun berdasarkan pengalamannya
pada tahun 1958 ketika ditawari Perdana Menteri RRC, Chou-en Lai untuk
memproduksi pesawat jet Type 56 (lisensi MiG-17 versi China), Nurtanio berkata
bahwa untuk proyek Gelatik yang begitu membumi saja dukungan dana dan
pembiayaannya sudah tersendat-sendat. Ketika proyek Wilga/Gelatik berjalan,
Nurtanio mengeluhkan kondisi sosial ekonomi para karyawannya yang membuat kaget
orang Polandia. Sampai satu kali mereka perhatikan, kenapa semua karyawan
meninggalkan pekerjaannya. Ternyata sedang mengantri minyak tanah.
Namun sejarah mencatat, bahwa SDM yang
dididik di perakitan pesawat Gelatik berperan besar saat Lapip menjadi Lipnur
(Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio) yang merupakan modal dasar IPTN pada
tahap permulaan. Pada dasawarsa 70-an, Marsekal TNI (purn) Ashadi Tjahjadi (
mantan Kepala Staff Angkatan Udara/KSAU) melihat jig (cetakan untuk produksi)
pesawat Gelatik yang diterlantarkan di udara terbuka di halaman Lipnur. Ashadi
berniat memanfaatkan lagi untuk suatu usaha bagi para purnawirawan AURI
(TNI-AU) berupa major overhaul pesawat -pesawat Gelatik. Alangkah mengecewakan
ketika gagasan itu ditolak oleh B.J. Habibie dengan alasan itu termasuk aset
perusahaan. Selain kegiatannya di LAPIP, Nurtanio bersama staf dan penerbang
AURI juga aktif dalam memantau kesiapan teknis armada-armada udara yang
dimiliki AURI saat itu. Diantaranya adalah kelemahan pada pesawat tempur MiG-19
Farmer versi awal yang dioperasikan AURI yang selalu memberikan indikasi adanya
kesalahan saat digunakan meski pesawat ini memberikan keselamatan dan keamanan
dengan penggunaan mesin ganda. Setelah terjadi pembicaraan antara R.J Salatun,
Nurtanio dan Leo Wattimena (salah seorang penerbang legendaris AURI selain
Rusmin Nuryadin), kesalahan itu terletak pada tongkat kemudinya (stick force)
yang selalu berubah-ubah (tidak stabil). Sebenarnya KSAU Suryadarma menolak
menerima pesawat itu namun Deputi KSAU Uni Soviet Marsekal Rudenko dalam
perundingan di Kremlin dimana R.J Salatun ikut hadir, mengancam bahwa dua
skadron (sekitar 24 pesawat) pesawat tempur MiG-21 Fishbed tidak dapat
diberikan kecuali Indonesia mau menerima 10 pesawat tempur MiG-19 Farmer.
Pesawat MiG-19 ini kemudian pada awal orde baru dijual ke Pakistan. Tahun 1964,
AURI menjalin kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung dan Pindad untuk
mengembangkan roket di bawah proyek "PRIMA" (Proyek Pengembangan
Roket Ilmiah dan Militer Awal) yang dipimpin Budiardjo dan R.J Salatun. Hasil
kongkritnya adalah terciptanya Roket Ilmiah Kartika I yang merupakan roket sounding
kedua di negara Asia-Afrika saat itu, sesudah Jepang. Alat telemetrinya yang
kedua sesudah India, berhasil merekam sinyal-sinyal dari satelit cuaca TIROS
dengan alat buatan dalam negeri. Pada waktu roket Kartika sedang didesain, para
sarjana dan teknisi LAPIP ikut dikerahkan. Sekitar pertengahan tahun 1965,
didirikan KOPELAPIP yang bertujuan membuat pesawat Fokker F -27. Pilihan atas F
-27 dapat dimengerti, karena pasarnya besar meskipun pabrik Fokker rupa
-rupanya menganggap bahwa pesawat itu sudah melewati puncak produksinya
sehingga yakin akan mengalami penurunan. F-27 secara operasional merupakan
pesawat yang handal, meskipun jika diperhatikan dari teknik produksi bagi
industri penerbangan pemula semacam KOPELAPIP di Indonesia pada masa itu sangat
terlalu maju yakni teknik pembuatannya tidak pakai paku keling tetapi dengan
merekatkan lempengan-lempengan aluminium (metal bonding). Proyek itu merupakan
suatu langkah maju yang ambisius mengingat investasi di bidang industri
penerbangan sangat minim. Pengambil keputusan yang tertinggi tidak ayal lagi
tergiur oleh cara pendanaan proyek yang mengandalkan hasil ekspor komoditi
lemah seperti kumis kucing atau kayu manis. KOPELAPIP dipimpin seorang menteri.
Pengurusnya terdiri dari orang-orang yang (maaf), sebelumnya tidak pernah
terdengar ada kaitannya dengan pembuatan pesawat terbang atau kedirgantaraan.
Sahabatnya, R.J Salatun tidak tega menanyakan kepada Nurtanio tentang KOPELAPIP
karena setelah berjerih-payah puluhan tahun dalam merintis industri
kedirgantaraan di Indonesia dari nol, sekali tempo ada jabatan menteri,
ternyata bukan diberikan kepadanya. Kemudian terdengar kabar bahwa bertentangan
dengan gagasan semula tentang cara pendanaan dengan komoditi lemah, sang
menteri minta izin ekspor minyak bumi. Akibat meletusnya G-30S/PKI dan
pergantian pemerintahan, maka KOPELAPIP mengalami kegagalan. Bahkan kemudian
hal itu membawa keuntungan bagi pabrik Fokker, larisnya pesawat turboprop
Fokker F-27 yakni timbulnya krisis energi terutama minyak bumi akibat konflik di
Timur Tengah karena pecahnya Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur, yang
membuat pasaran pesawat turboprop yang dikenal hemat bahan bakar melonjak
disamping munculnya seorang salesman berbangsa Inggris yang ulung telah
mendongkrak pemasaran pesawat F -27 hingga menjadi paling laris di antara
produk-produk Fokker.
Akhir pengabdiannya
Nurtanio tetaplah seorang Nurtanio, dari
seorang aero-modeller hingga menjadi pejabat resmi yang memimpin LAPIP. Pekerja
keras, tidak banyak omong (bombastis), rendah hati, sopan santun, serta bekerja
dengan serba apa adanya dengan biaya rendah (low cost). Pesawat-pesawat yang
diciptakannya memanfaatkan komponen dan suku cadang yang ditemukan di berbagai
gudang yang tak terpakai. Gaya pendekatan yang serba rasional, tidak
muluk-muluk dan sangat membumi, sesuai dengan kondisi Indonesia yang sejak awal
kemerdekaan dianggap praktis tidak pernah ideal hingga sulit menciptakan
kontinuitas dan konsistenitas. Tetapi gaya Nurtanio yang realistis juga, yang
menyebabkan dirinya kurang dihargai karena dianggap tidak bisa mengikuti arus
megalomania.
Nurtanio banyak pengalaman, baik sebagai
penerbang maupun pejabat yang bertanggung jawab atas pemeliharaan seluruh
armada udara AURI selama tahun-tahun sulit. Ia pernah menceritakan suatu
paradoks yakni ketika anggaran untuk security dan prosperity masih serasi,
industri lokal mampu menghasilkan rubber hose untuk pesawat DC-3 Dakota. Tapi
ketika anggaran untuk pertahanan keamanan meningkat sampai 75 persen dari
anggaran total, kemampuan lokal tadi lenyap. Padahal di negara yang sudah maju,
anggaran pertahanan justru akan menggairahkan industri dalam negeri yang
dimanfaatkan untuk menyembuhkan resesi. Begitulah tragedi yang harus dialami
bangsa yang belum mandiri. Nurtanio pernah mengatakan, bahwa pendekatan ke arah
pembuatan pesawat terbang bisa juga ditempuh melalui peningkatan maintenance
(perawatan dan pemeliharaan) secara bertahap. Dimulai dengan maintenance by
repair, dan akhirnya maintenance by manufacturing. Ia mengatakan, melalui
kerjasama dengan Polandia dalam pembuatan pesawat Gelatik dia bertujuan
meningkatkan SDM ke produksi pesawat. Nurtanio sendiri lebih memilih realistis,
dan memilih berkonsentrasi kepada bagaimana mencapai sasaran yang sedang
dihadapinya. Penolakannya akan modifikasi pesawat Lavochkin LA-11 menjadi
pesawat jet juga berdasarkan pilihannya itu. Menjelang akhir hayatnya, dia baru
memberitahu bahwa dia sedang memodifikasi pesawat STOL (Short Take Off
Landing/Tinggal Landas dan Mendarat di landasan pendek) bermotor ganda.
Nurtanio juga mengungkapkan keprihatinannya atas terpuruknya AURI paska
peristiwa G30S/PKI yang gagal.
Meski mengedepankan rasio, sebagai orang
timur, Nurtanio juga percaya dengan hal-hal yang bersifat ghaib, seperti
kemunculan hantu dalam perjalanan kereta api yang dihubungkan dengan tragedi
atau kecelakaan, atau munculnya bau wangi ketika pada waktu uji terbang dengan
Kolentang, gyrocopter rakitan disain Benson di atas sebuah hanggar Lanud Husein
Sastranegara, atau bahkan kecelakaan ringan yang dialami di Pameungpeuk, ketika
dia menjabat sebagai Direktur Jenderal LAPAN saat kegiatan pembangunan stasiun
peluncuran roket giat-giatnya dibangun. Meski minat Nurtanio hanya sebatas
gejala-gejala paranormal.
Nurtario gugur pada suatu kecelakaan
pesawat terbang pada tanggal 21 Maret 1966, ketika menerbangkan pesawat Aero 45
atau Arev yang sebenarnya buatan Cekoslowakia, yang telah dimodifikasi dengan
memberi tangki bahan bakar ekstra. Pesawat ini sebenarnya akan digunakan untuk
penerbangan keliling dunia, dan Nurtanio mengalami kecelakaan saat kerusakan
mesin, dia berusaha untuk mendarat darurat di lapangan Tegallega, Bandung namun
gagal karena pesawatnya menabrak toko. Namun sejarah kemudian mencatat
bagaimana setelah gugur Nurtanio tertimpa aib. LIPNUR diubah menjadi IPTN. Nama
Nurtanio dihapus. Alasan menghapus nama Nurtanio yang disampaikan secara resmi,
sangat sepele. Tuduhannya, adanya surat pribadi dengan kop perusahaan sehingga
keluarga Nurtanio difitnah akan memiliki saham IPTN. Isu itu kemudian, yang
sangat disayangkan, dibesar-besarkan bahkan didramatisasi. ( id.wikipedia )