Mas
Mansoer, Ketua Umum Muhammadiyah 1936—1942
Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di
Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di Surabaja, 25 April 1946 pada umur 49
tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia.
Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita
kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya
bernama KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal
di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi
Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel,
suatu jabatan terhormat pada saat itu.
Pendidikan
Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar
agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren
Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika
Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami
kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana
kurang lebih dua tahun, Kia Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur
meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
Belajar di Mekkah dan Mesir
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan
pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan
belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas
Pacitan Jawa Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi
politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif
Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah
supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansoer tidak
mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di
mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun
demikian, Mas Mansoer tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya.
Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang
tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu,
dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari
masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu
orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir. Di Mesir, dia
belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir
pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat
kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat
Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan
kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan
mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua
tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah
selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.
Menikah
Sepulang dari belajar di Mesir dan
Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya
tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam
orang anak, yaitu Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan
Loek-loek. Di samping menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan
Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama,
hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Bergabung dengan Sarekat Islam
Langkah awal Mas Mansoer sepulang dari
belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Sarekat Islam. Peristiwa yang dia
saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun
di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal
baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI
dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang
radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
Taswir Al-Afkar
Di samping itu, Mas Mansoer juga
membentuk majelis diskusi bersama Wahab Hasboellah yang diberi nama Taswir
al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh
Masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak
maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi
yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama
Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di
surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan
masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan
melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami
lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai
kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan
madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah
Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan (Cabang Tanah
Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau
diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air,
maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar.
Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka
untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa
campur tangan bangsa lain itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang
diskusinya mau tidak mau permasalahan yang mereka diskusikan merembet pada
masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara
Mas Mansoer dengan Abdoel Wahab Hasboellah mengenai masalah-masalah tersebut
yang menyebabkan Mas Mansoer keluar dari Taswir al-Afkar.
Kepenulisan
Mas Mansoer juga banyak menghasilkan
tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya
dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Soeara Santri.
Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri
sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat sukses
yang gemilang. Djinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas
Mansoer. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa
dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan
pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya
dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas Mansoer mengajak kaum muslimin
untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansoer juga
pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat
di Siaran dan Kentoengan di Surabaya; Penagandjoer dan Islam Bergerak di
Jogjakarta; Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di
samping melalui majalah-majalah, Mas Mansoer juga menuliskan ide dan gagasannya
dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja Nikah;
Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Kegiatan di Muhammadiyah
Mulai aktif di Muhammadiyah
Di samping aktif dalam bidang
tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun aktivitasnya dalam
organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas
Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah
membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi
pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan
mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua
Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa
Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
Terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah
Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada
bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansoer terpilih
sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu
ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus
Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi
persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh
(penyiaran agama Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa
Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH.
Hisjam (Ketua Pengurus Besar), KH. Moechtar (Wakil Ketua), dan KH. Sjuja'
sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem). Situasi
bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada
tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada
tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin
kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan
diri. Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan
untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai
Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansoer (Konsul Muhammadiyah
Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansoer menolak, tetapi setelah melalui
dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok
tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan
bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi
kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan
perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansoer juga
banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan
progresif.
Gaya kepemimpinan
Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya untuk pindah ke Jogjkarta bersama
keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji,
melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah,
sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam
berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat
pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah.
Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali
menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansoer
selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin
organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri
beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk
menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya
untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan
kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas
langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat
gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk
pula dicatat, Mas Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank,
yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan
memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram,
tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem
yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan
dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam
akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan
tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi
perekonomian ummat Islam.
Kegiatan politik
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu,
Mas Mansoer juga banyak melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai
aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah,
ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam
dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama
Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia
juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman
Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas
Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan,
yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar
Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai
mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang
yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam
empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan
kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Meninggal dunia
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas
Mansoer belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang
memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara
Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di
Kalisosok. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas
Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan
di Gipo Surabaya.
Pahlawan nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah
Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama teman
seperjuangannya, yaitu KH. Fakhruddin. ( id.wikipedia )