Kyai
Haji Hisyam, Ketua Umum Muhammadiyah 1932—1936
Kiai Haji Hisyam lahir di Kauman,
Yogyakarta, 10 November 1883 – meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga. Ia memimpin Muhamadiyah selama
tiga tahun. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia adalah murid
langsung dari KH. Ahmad Dahlan.
Asal mula
KH. Hisyam lahir di kampung Kauman
Yogyakarta tanggal 10 November 1883.
Muhammadiyah
Pertama kali ia dipilih dalam Kongres
Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam
Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya
dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada
tahun 1936. KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan
manajemen organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian
Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran,
baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali karena
KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Bagian
Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar
Muhammadiyah.
Sekolah Muhammadiyah
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini,
Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah
desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool
gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai
lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool
Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda
membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun
mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga
mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah untuk menyamai
usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse School met de
Bijbel.
Kebijakan Hisyam mengarahkan pada
modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan
pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah
kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke
sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan
sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah
pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi
putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat,
sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang mendapatkan
pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
Berkat perkembangan pendidikan
Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada akhir tahun 1932,
Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69
Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan 25 Schakel School, yaitu sekolah lima
tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang
setingkat SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool
kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa
Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang dapat
menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik,
dan sekolah-sekolah Protestan.
Bantuan keuangan
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah
KH Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima
bantuan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun jumlahnya sangat sedikit
dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen
saat itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan
kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarekat Islam yang saat itu melancarkan
politik non-kooperatif. Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah saat
itu merupakan hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari masyarakat
Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa
memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada
akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi
tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut ditolak,
maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.
Pendidikan keluarga
Putra-putrinya KH Hisyam disekolahkan di
beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan
menjadi guru, yang saat itu disebut sebagai bevoegd. Satu orang putranya
menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi
menamatkan studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut
merupakan sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda untuk mendidik
calon guru yang berwenang untuk mengajar sekolah HIS milik pemerintah
(gubernemen). Akhirnya mereka menjadi guru di HIS met de Qur'an Muhammadiyah di
Kudus dan Yogyakarta.
Bintang jasa
Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan
pendidikan untuk masyarakat, maka ia pun akhirnya mendapatkan penghargaan dari
pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder
Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam
pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam
sekolah Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.
Wafat
KH Hisyam wafat pada tanggal 20 Mei
1945. ( id.wikipedia )